Bertahun-tahun RI Kena 'Penyakit' Defisit Migas, Ada Solusi? -->

YAITU LOGO2 DAN BANNER

Bertahun-tahun RI Kena 'Penyakit' Defisit Migas, Ada Solusi?

Monday, 29 July 2019
Foto: Infografis/Cadangan Migas Indonesia/Edward Ricardo

Jakarta - Neraca perdagangan Indonesia masih mengalami defisit, salah satu faktor utamanya adalah tingginya impor energi ke dalam negeri terutama minyak dan gas (migas). Diperkirakan hingga akhir tahun ini nilai impor migas akan mencapai US$ 47 miliar-US$ 48 miliar, naik dari realisasi tahun lalu yang sebanyak US$ 47,04 miliar.

Biang kerok memburuknya neraca perdagangan barang tidak lepas dari defisit perdagangan migas yang melebar menjadi US$ 3,53 miliar di kuartal II-2018, naik dari kuartal sebelumnya sebesar US$ 2,76 miliar. Defisit perdagangan migas sebesar itu menjadi yang salah satu yang tertinggi di sepanjang sejarah Indonesia.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan kunci untuk menekan defisit akibat impor migas ini adalah dengan meningkatkan produksi dan mengurangi jumlah impor. Bagaimana caranya?

"Peningkatan produksi tampaknya masih butuh waktu panjang mengingat lelang blok migas dalam periode 2015-2016 tidak ada yang laku sementara tahun 2017-2019 telah laku 16 blok dengan metode gross split. Namun demikian, seluruh blok tersebut baru akan bisa berproduksi minimal 7 tahun sejak eksplorasi dimulai. Apalagi belum tentu seluruh blok tersebut dapat menghasilkan mengingat terdapat peluang gagal juga," kata Tauhid di Jakarta, Minggu (28/7/2019).

Namun, proses tersebut masih terbilang panjang namun dalam jangka menengah bisa ditanggulangi dengan pengembangan refinery plant.

Impor bahan bakar yang masuk sejauh ini berupa bahan bakar hasil olahan, bukan berupa minyak mentah.Sehingga produksi dalam negeri yang selama ini dikirim ke luar negeri dalam bentuk minyak mentah dan kembali masuk dalam bentuk minyak olahan bisa diturunkan.

"Karena itu, perlunya pemerintah serius menangani ini mengingat refinery unit (RU) yang dimiliki Pertamina masih terbatas, baik yang berada di Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, Balongan dan Kasim," jelas dia.

Namun, persoalannya investasi di kilang atau refinery tidak murah, banyak investor yang akan  masuk dan bekerjasama dengan Pertamina, belum terealisasi.

Langkah lainnya adalah dengan menurunkan impor, terutama impor solar dan memaksimalkan pemanfaatan biodiesel B30. Artinya sebanyak 30% biosolar berasal dari minyak nabati khususnya sawit.

Ekonom Faisal Basri menilai penerapan biodiesel hingga B30 ini dinilai masih belum akan membantu menurunkan nilai defisit ini. Penurunan nilai impor ini hanya bisa dipastikan berhasi jika program ini berjalan 100%.

Namun, penggunaan CPO untuk campuran biodiesel ini juga akan berdampak pada penurunan ekspor CPO. "Sehingga efek netto-nya tak sebesar yang dikatakan pemerintah," kata Faisal.

Solusi-solusi di atas memang mudah di atas kertas, tapi eksekusinya butuh keseriusan pemerintah dan pihak terkait.

News Feed

Share :
Bagikan berita ini ke yang lain
close