Ilustrasi Bahan Pangan (CNBC Indonesia/A Kristianto) |
Jakarta, Di periode kedua 2019-2024, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) menargetkan laju inflasi tetap terjaga di kisaran 2-4%. Pengendalian inflasi sangat penting bagi negara berkembang seperti Indonesia, karena dapat menjaga daya beli dan konsumsi yang merupakan pilar utama pertumbuhan ekonomi.
"Dalam kurun waktu 2020-2024, kebijakan pengendalian inflasi diarahkan untuk: (i) Meningkatkan produktivitas terutama pasca panen dan meningkatkan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP); (ii) Menurunkan rata-rata inflasi dan volatilitasnya pada 10 komoditas pangan strategis; (iii) Menurunkan disparitas harga antardaerah dengan rata-rata harga nasional, serta menurunkan disparitas harga antarwaktu; (iv) Menjangkar ekspektasi inflasi dalam sasaran yang ditetapkan; serta (iv) Meningkatkan kualitas statistik," demikian tertuang dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Pengendalian inflasi menjadi salah satu prestasi pemerintahan Jokowi periode pertama 2014-2019. Laju inflasi berhasil dijaga di kisaran 3% sejak pertengahan 2017 hingga sekarang.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, inflasi rendah adalah sebuah berkah. Sebab inflasi tinggi sejatinya menjadi khittah bagi negara berkembang, karena permintaan yang masih tumbuh tinggi tanpa bisa diimbangi oleh pasokan.
Inflasi rendah artinya Indonesia mampu menyediakan pasokan yang memadai sementara permintaan terus tumbuh. Namun, terkadang pemenuhan kebutuhan itu memang didatangkan dari luar negeri alias impor karena produksi dalam negeri belum bisa memenuhi.
Misalnya, impor produk sayuran pada Januari-April 2019 tercatat US$ 2,54 miliar. Naik 3,95% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Demi menjaga inflasi dan daya beli, ya memang saat ini pilihannya terbatas.
"Dalam kurun waktu 2020-2024, kebijakan pengendalian inflasi diarahkan untuk: (i) Meningkatkan produktivitas terutama pasca panen dan meningkatkan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP); (ii) Menurunkan rata-rata inflasi dan volatilitasnya pada 10 komoditas pangan strategis; (iii) Menurunkan disparitas harga antardaerah dengan rata-rata harga nasional, serta menurunkan disparitas harga antarwaktu; (iv) Menjangkar ekspektasi inflasi dalam sasaran yang ditetapkan; serta (iv) Meningkatkan kualitas statistik," demikian tertuang dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Pengendalian inflasi menjadi salah satu prestasi pemerintahan Jokowi periode pertama 2014-2019. Laju inflasi berhasil dijaga di kisaran 3% sejak pertengahan 2017 hingga sekarang.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, inflasi rendah adalah sebuah berkah. Sebab inflasi tinggi sejatinya menjadi khittah bagi negara berkembang, karena permintaan yang masih tumbuh tinggi tanpa bisa diimbangi oleh pasokan.
Inflasi rendah artinya Indonesia mampu menyediakan pasokan yang memadai sementara permintaan terus tumbuh. Namun, terkadang pemenuhan kebutuhan itu memang didatangkan dari luar negeri alias impor karena produksi dalam negeri belum bisa memenuhi.
Misalnya, impor produk sayuran pada Januari-April 2019 tercatat US$ 2,54 miliar. Naik 3,95% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Demi menjaga inflasi dan daya beli, ya memang saat ini pilihannya terbatas.
Impor menjadi opsi paling rasional, ketimbang pasokan di dalam negeri seret dan menyebabkan inflasi yang tidak perlu. Indonesia masih di level ketahanan, belum kedaulatan.
Agar impor tidak tinggi demi menjaga inflasi, produksi dalam negeri mau tidak mau harus ditingkatkan. Entah itu pangan atau produk-produk manufaktur.
Ini Caranya Tingkatkan Produksi
Untuk ketersediaan pangan, pemerintah menargetkan produksi beras (gabah kering giling) pada 2024 bisa mencapai 67,12 juta ton. Naik 35,19% dibandingkan produksi 2018 yaitu 49,65 juta ton.
Bagaimana caranya? Dokumen RPJMN 2020-2024 menyebutkan pemerintah berupaya meningkatkan adopsi teknologi pertanian oleh petani menjadi 96% pada 2024. Untuk 2020, targetnya adalah 80%.
Berikut adalah gambaran lengkap target-target pemerintah di bidang pangan dan pertanian:
Sementara di sisi manufaktur, pemerintah juga punya target-target tinggi. Agar mampu memenuhi kebutuhan dan menekan impor, industri manufaktur harus tumbuh tinggi.
Sudah cukup lama industri tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi umum. Untuk 2020-2024, pemerintah menargetkan industri manufaktur tumbuh rata-rata 5,8-7,6% per tahun. Kalau ini terwujud, maka jauh membaik dibandingkan kondisi saat ini.
Bagaimana caranya? Indonesia punya keunggulan berupa melimpahnya bahan baku industri yaitu komoditas. Bahan baku ini bisa dimanfaatkan untuk membangun industri pengolahan.
Misalnya di Sumatera, industri manufaktur bisa diarahkan untuk memproduksi barang dari karet. Atau di Jawa dan Bali, industri pengolahan bisa memanfaatkan melimpahnya bahan baku berupa kulit dan tembakau.
Apabila RPJMN 2020-2024 bisa dijalankan dengan konsisten, maka diharapkan produksi pertanian dan industri nasional bakal meningkat. Hasilnya tentu impor akan menurun. Jadi untuk mengendalikan inflasi, opsi impor bisa dicoret karena Indonesia sudah berdikari.
Untuk ketersediaan pangan, pemerintah menargetkan produksi beras (gabah kering giling) pada 2024 bisa mencapai 67,12 juta ton. Naik 35,19% dibandingkan produksi 2018 yaitu 49,65 juta ton.
Bagaimana caranya? Dokumen RPJMN 2020-2024 menyebutkan pemerintah berupaya meningkatkan adopsi teknologi pertanian oleh petani menjadi 96% pada 2024. Untuk 2020, targetnya adalah 80%.
Berikut adalah gambaran lengkap target-target pemerintah di bidang pangan dan pertanian:
Bappenas |
Sementara di sisi manufaktur, pemerintah juga punya target-target tinggi. Agar mampu memenuhi kebutuhan dan menekan impor, industri manufaktur harus tumbuh tinggi.
Sudah cukup lama industri tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi umum. Untuk 2020-2024, pemerintah menargetkan industri manufaktur tumbuh rata-rata 5,8-7,6% per tahun. Kalau ini terwujud, maka jauh membaik dibandingkan kondisi saat ini.
Bagaimana caranya? Indonesia punya keunggulan berupa melimpahnya bahan baku industri yaitu komoditas. Bahan baku ini bisa dimanfaatkan untuk membangun industri pengolahan.
Misalnya di Sumatera, industri manufaktur bisa diarahkan untuk memproduksi barang dari karet. Atau di Jawa dan Bali, industri pengolahan bisa memanfaatkan melimpahnya bahan baku berupa kulit dan tembakau.
Apabila RPJMN 2020-2024 bisa dijalankan dengan konsisten, maka diharapkan produksi pertanian dan industri nasional bakal meningkat. Hasilnya tentu impor akan menurun. Jadi untuk mengendalikan inflasi, opsi impor bisa dicoret karena Indonesia sudah berdikari.