![]() |
Dubai Creek |
Dubai - Kota Dubai punya banyak atraksi yang menarik. Salah satunya menaiki Abra, perahu kayu yang melintas di Sungai Dubai.
Sebuah perahu tradisional beratap terpal melintas di atas sungai. Jauh di belakangnya terdapat barisan bangunan berwarna cokelat khas Timur Tengah. Di atas perahu, ada dua buah papan tempat belasan orang duduk beradu punggung.
Gambaran itu yang saya lihat di inflight magazine maskapai Emirates yang saya tumpangi dari Jakarta menuju Belanda. Gambar yang terekam jelas di benak saya, mengendap, dan seakan mengundang saya untuk datang ke sana. Dubai Creek, sungai yang membentang di bagian timur Dubai.
Alhasil, ketika transit di Dubai, sehari ketika kembali ke Jakarta, saya memaksa diri untuk menuju kawasan yang ada di foto itu. Tak terlalu sulit karena transportasi di Dubai amat nyaman dan memadai. Tak perlu waktu lama, metro di lintasan hijau itu membawa saya ke daerah yang amat kontras dengan Dubai yang selama ini saya tahu, Dubai modern yang penuh pencakar langit di mana-mana.
Dubai Creek rupanya membentang sepanjang 2,3 km. Bagian yang saya lihat di foto berada di area Old Dubai, kawasan lama Dubai yang ternyata juga menjadi tujuan wisata para turis mancanegara.
Old Dubai memang amat kontras dengan Dubai Modern. Bangunan-bangunan berwarna cokelat dan dipenuhi dengan kehidupan masyarakat tradisional yang hampir tak saya temui di kota sebelumya. Saya langsung berpikir, saya suka kota ini.
Waktu saya cukup mepet. Dengan setengah berlari saya langsung bergegas menuju Bur Dubai Station, tempat perahu kayu itu bersandar. Di sana, terdapat deretan perahu-perahu kayu kecil. Abra, begitu nama perahunya, yang kurang lebih memiliki arti "to cross" atau menyebrang.
"Miss, jump. There's only one slot," kata pengemudi Abra ke saya. Saya melirik ke arah perahu yang hampir terisi penuh itu. Di dalamnya terdapat dua bilah papan panjang. Rupanya, papan panjang itu adalah tempat duduk penumpang.
Sebuah perahu tradisional beratap terpal melintas di atas sungai. Jauh di belakangnya terdapat barisan bangunan berwarna cokelat khas Timur Tengah. Di atas perahu, ada dua buah papan tempat belasan orang duduk beradu punggung.
Gambaran itu yang saya lihat di inflight magazine maskapai Emirates yang saya tumpangi dari Jakarta menuju Belanda. Gambar yang terekam jelas di benak saya, mengendap, dan seakan mengundang saya untuk datang ke sana. Dubai Creek, sungai yang membentang di bagian timur Dubai.
Alhasil, ketika transit di Dubai, sehari ketika kembali ke Jakarta, saya memaksa diri untuk menuju kawasan yang ada di foto itu. Tak terlalu sulit karena transportasi di Dubai amat nyaman dan memadai. Tak perlu waktu lama, metro di lintasan hijau itu membawa saya ke daerah yang amat kontras dengan Dubai yang selama ini saya tahu, Dubai modern yang penuh pencakar langit di mana-mana.
Dubai Creek rupanya membentang sepanjang 2,3 km. Bagian yang saya lihat di foto berada di area Old Dubai, kawasan lama Dubai yang ternyata juga menjadi tujuan wisata para turis mancanegara.
Old Dubai memang amat kontras dengan Dubai Modern. Bangunan-bangunan berwarna cokelat dan dipenuhi dengan kehidupan masyarakat tradisional yang hampir tak saya temui di kota sebelumya. Saya langsung berpikir, saya suka kota ini.
Waktu saya cukup mepet. Dengan setengah berlari saya langsung bergegas menuju Bur Dubai Station, tempat perahu kayu itu bersandar. Di sana, terdapat deretan perahu-perahu kayu kecil. Abra, begitu nama perahunya, yang kurang lebih memiliki arti "to cross" atau menyebrang.
"Miss, jump. There's only one slot," kata pengemudi Abra ke saya. Saya melirik ke arah perahu yang hampir terisi penuh itu. Di dalamnya terdapat dua bilah papan panjang. Rupanya, papan panjang itu adalah tempat duduk penumpang.
Dengan satu lompatan, saya akhirnya berhasil duduk di ujung, di satu-satunya space yang tersisa. Pengemudi menyalakan mesin, menimbulkan asap yang menusuk hidung saya. Kemudian ia meminta uang 1 dirham kepada seluruh penumpang dan menjalankan perahunya menuju Deira Old Souk, area terkenal di seberang Bur Dubai.
Menurut informasi dari orang di sebelah saya, Abra ini kini banyak jenisnya. Selain yang tradisional seperti yang saya naiki, wisatawan juga bisa mencoba Abra ber AC dari Al Jaddaf Marine menuju Dubai Festival City. Atau Abra khusus wisatawan yang berada di Dubai Water Canal.
Begitu perahu menyentuh daratan, saya lompat dan berlari menuju metro terdekat. Waktu saya sungguh tak banyak, saya harus kembali ke bandara. Di tengah perjalanan, saya melewati Old Souk, pasar tradisional Dubai yang sangat menarik. Mata saya sempat melirik karpet-karpet, pashmina, dan beraneka ragam souvenir yang memikat mata. Hidung saya sempet mencium wangi rempah dan bumbu-bumbu khas Timur Tengah.
Tak jauh dari Souk, ada Dubai Museum, sebuah museum yang dibangun di bekas benteng, berbentuk segi empat dengan menara di 3 sudutnya. Dibangun dari batuan berwarna cokelat, yang merupakan batuan khas bangunan di daerah Arab. Konon dari literatur yang saya baca, bangunan ini didirikan tahun 1787 dan merupakan bangunan tertua yang masih tersisa di Dubai.
Sayang, waktu saya di sana sangat terbatas. Saya cuma bisa melirik semua itu sambil berdoa, semoga suatu saat saya bisa kembali ke sana.