![]() |
Suatu saat, Kiai Muhammadun Pondowan Tayu Pati bersama Kiai
Abdullah Salam dan Kiai Sahal Mahfudz berjalan kaki bersama seteleh
menghadiri sebuah acara di satu tempat. Diantara ketiganya, Kiai
Muhammadun yang paling dituakan.
Dalam
perjalanan, tiba-tiba Kiai Muhammadun mendapat tawaran tumpangan dari
seorang anak muda pengendara sepeda motor. “Maaf Kiai, mari saya
antarkan” kata pemuda menawari. “Oh, tidak, terima kasih,” tolak kiai
dengan nada halus.
Pengendara motor mengulangi
tawaran sebagai tanda tulus ikhlas. Namun Kiai Muhammadun tetap tidak
berkenan hingga mereka bertiga ditinggalkan pemuda tersebut.
“Sampean tahu, mengapa saya menolak tawaran lelaki tadi?” tanya Kiai Muhammadun kepada Kiai Sahal.
“Hm, itu kan karena kiai tidak enak hati sama kita berdua,” jawab Kiai Sahal.
“Bukan,” sanggah Kiai Muhammadun. “Saya tolak karena saya tahu, dia adalah lelaki kurang mampu dan istrinya adalah orang kaya.”
Kiai Abdullah Salam dan Kiai Sahal mendengarkan secara seksama, sedangkan Kiai Muhammadun melanjutkan alasan penolakannya.
“Adapun
sepeda motor yang ia kendarai menurut dugaanku bukan miliknya sendiri,
tetapi kepunyaan sang istri. Saya tidak berani menumpang karena ia belum
meminta ijin istrinya sebagai pemilik kendaraan untuk mengantarkan
saya,” jelas Kiai Muhammadun.
Begitulah contoh
kehati-hatian pribadi orang alim dan cerdas dalam beragama. Ia
mengetahui hukum kemudian mengamalkan dengan jalan hati-hati, tidak
serampangan.
Banyak kiai yang dalam kesehariannya melaksanakan hukum Islam secara leterlek
(sesuai teks ajaran ulama salaf). Dalam hal ini, Kiai Muhammadun dan
kiai-kiai lain banyak yang memilah antara harta suami dan istri sesuai
ajaran kitab. Urusan nafkah adalah kewajiban suami, sedangkan jika istri
mempunyai harta sendiri, itu merupakan hak mereka pribadi tanpa menutup
kemungkinan suami boleh memanfaatkan atas ijin istri.
Yang
paling menonjol tentang pijakan hukum kiai NU adalah keras untuk diri
mereka sendiri dan lentur kepada masyarakat awam sepanjang tidak
bertentangan secara tegas dengan syari’at. Di samping itu, Kiai
Muhammadun merupakan sosok contoh nyata, betapa ia tidak mementingkan
kepentingan diri sendiri dengan menumpang orang lain dengan mengabaikan
dua kawan lainnya berjalan sendiri.
(HM Shofi Al Mubarok Baedlowie / Mundzir)