Kesepakatan para raja mengenai sengketa batas wilayah Indonesia dan Timor Leste di Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, NTT, 14 November 2017. (Foto: Dok. Pribadi/Raja Amfoang, Robby G.J. Manoh/Liputan6.com/Anri Syaiful) |
Jakarta - Belasan tahun berlalu, ternyata penyelesaian sengketa batas wilayah antara Republik Indonesia dan Timor Leste di Naktuka (Noel Besi-Citrana), secara resmi belum tuntas. Wilayah sengketa terletak di antara Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan Distrik Oecusse, Timor Leste. Bahkan, lahan pertanian yang disengketakan saat ini cukup luas, yakni mencapai 1.069 hektare.
"Padahal, ada batas alam berupa Noel Besi (sungai besar). Namun, mereka warga Timor Leste tetap menyeberang ke wilayah kita (Indonesia)," ucap Raja Amfoang, Robby G.J. Manoh, saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Senin malam, 22 Januari 2018.
Ia pun menegaskan, batas Kerajaan Amfoang dengan Kerajaan Ambenu di Oekusi, Timor Leste, berada di Sungai Noel Besi dan bukan di Nonomna (sungai kecil) seperti yang diakui pemerintah Timor Leste.
Menurut penguasa ke-18 Kerajaan Amfoang tersebut, sengketa batas wilayah itu bermula sejak jajak pendapat tahun 1999 yang berujung provinsi ke-27 RI itu melepaskan diri menjadi negara sendiri, yakni Republik Demokratik Timor Leste atau Timor Lorosa'e.
Adanya sengketa batas wilayah itu membuat kedua negara melakukan berbagai langkah diplomasi untuk menyelesaikan masalah. Termasuk pertemuan dua delegasi di Jakarta, pada 16-17 April 2003.
Saat itu, menurut Robby Manoh, Indonesia yang diwakili Kerajaan Amfoang dan Pemerintah Provinsi NTT terlibat dalam perundingan. Intinya, mereka menyepakati batas antara Kerajaan Amfoang dan Kerajaan Ambenu di Timor Leste adalah batas negara yang sudah ada patok.
Merujuk kesepakatan dalam perundingan tahun 2003, Robby Manoh yang dinobatkan sebagai raja ke-18 Amfoang pada 17 Juni 2002 menjelaskan, perwakilan Kerajaan Ambenu Timor Leste secara adat mengakui adanya batas wilayah tersebut.
Kesepakatan ini diperkuat pada perundingan secara adat antara perwakilan Kerajaan Amfoang dan Kerajaan Ambenu serta sejumlah kerajaan tertua lainnya pada 14 November 2017 di Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang.
Artinya, menurut dia, sengketa batas wilayah antara Indonesia dan Timor Leste itu mulai diselesaikan secara adat.
Pesan Raja kepada Presiden Jokowi
Kesepakatan para raja dalam perundingan di Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, tentunya disambut gembira masyarakat adat setempat, baik di NTT maupun Timor Leste. Raja Amfoang, Robby G.J. Manoh, pun berharap pemerintah pusat menindaklanjuti kesepakatan para raja yang menghasilkan beberapa butir penting.
"Karena diawali dengan sumpah adat. Masing-masing perwakilan kerajaan membawa seekor ayam yang kemudian disembelih sebagai penanda kesepakatan adat para raja," tutur Robby Manoh.
Tiga kerajaan yang masuk wilayah Indonesia dan Kerajaan Ambenu di Timor Leste pun mengakui batas-batas wilayah adat sesuai dengan sumpah mereka.
"Pak Presiden (Joko Widodo atau Jokowi) tolong hargai kami. Masyarakat adat telah mewakili Indonesia. Paling tidak, masyarakat adat diperhatikan, diperhatikan (pembangunan) infrastruktur seperti jembatan dan lain-lain," ucapnya.
Apalagi, sejak tahun 2003, penyelesaian sengketa perbatasan oleh Kementerian Luar Negeri RI belum ada titik terangnya. "Dengan adanya kesepakatan raja itu, republik ini bisa membuka mata, sehingga permasalahan tidak berlarut-larut," imbuh Robby Manoh.
Bila tidak, bakal terjadi sejumlah dampak kepada masyarakat. "Dampak ke masyarakat seperti timbulnya kecemburuan sosial. Karena itu, kesepakatan para raja harus dipatuhi," katanya.
Raja Amfoang juga mengingatkan kepada Presiden Jokowi agar memantau jalannya perundingan untuk menyelesaikan sengketa tapal batas antara Indonesia dan Timor Leste. Termasuk, memantau kinerja pihak tertentu yang kerap mondar-mandir di perbatasan, tapi belum bisa menyelesaikan masalah.
Terlebih, Robby Manoh mengungkapkan, kenyataan di lapangan saat ini sekitar 163 kepala keluarga dari Timor Leste menggarap lahan sengketa di Naktuka, yang mencakup areal 1.069 ha.
Di lain sisi, warga di Amfoang, Kabupaten Kupang, dilarang masuk ke sana. Padahal, menurut Robby Manoh, sesuai perundingan RI-Timor Leste di Jakarta, 15-16 Maret 2013, wilayah Naktuka disepakati sebagai daerah steril.
"Sehingga, kedua negara menjaga wilayah sengketa, menunggu siapa yang berhak. Menunggu penyelesaian dari delegasi RI-Timor Leste," kata Robby Manoh.
Ia pun mempertanyakan kenapa masyarakat Amfoang dilarang. "Sedangkan mereka (warga Timor Leste) tidak, padahal daerah steril," ujarnya.
"Karena diawali dengan sumpah adat. Masing-masing perwakilan kerajaan membawa seekor ayam yang kemudian disembelih sebagai penanda kesepakatan adat para raja," tutur Robby Manoh.
Tiga kerajaan yang masuk wilayah Indonesia dan Kerajaan Ambenu di Timor Leste pun mengakui batas-batas wilayah adat sesuai dengan sumpah mereka.
"Pak Presiden (Joko Widodo atau Jokowi) tolong hargai kami. Masyarakat adat telah mewakili Indonesia. Paling tidak, masyarakat adat diperhatikan, diperhatikan (pembangunan) infrastruktur seperti jembatan dan lain-lain," ucapnya.
Apalagi, sejak tahun 2003, penyelesaian sengketa perbatasan oleh Kementerian Luar Negeri RI belum ada titik terangnya. "Dengan adanya kesepakatan raja itu, republik ini bisa membuka mata, sehingga permasalahan tidak berlarut-larut," imbuh Robby Manoh.
Bila tidak, bakal terjadi sejumlah dampak kepada masyarakat. "Dampak ke masyarakat seperti timbulnya kecemburuan sosial. Karena itu, kesepakatan para raja harus dipatuhi," katanya.
Raja Amfoang juga mengingatkan kepada Presiden Jokowi agar memantau jalannya perundingan untuk menyelesaikan sengketa tapal batas antara Indonesia dan Timor Leste. Termasuk, memantau kinerja pihak tertentu yang kerap mondar-mandir di perbatasan, tapi belum bisa menyelesaikan masalah.
Terlebih, Robby Manoh mengungkapkan, kenyataan di lapangan saat ini sekitar 163 kepala keluarga dari Timor Leste menggarap lahan sengketa di Naktuka, yang mencakup areal 1.069 ha.
Di lain sisi, warga di Amfoang, Kabupaten Kupang, dilarang masuk ke sana. Padahal, menurut Robby Manoh, sesuai perundingan RI-Timor Leste di Jakarta, 15-16 Maret 2013, wilayah Naktuka disepakati sebagai daerah steril.
"Sehingga, kedua negara menjaga wilayah sengketa, menunggu siapa yang berhak. Menunggu penyelesaian dari delegasi RI-Timor Leste," kata Robby Manoh.
Ia pun mempertanyakan kenapa masyarakat Amfoang dilarang. "Sedangkan mereka (warga Timor Leste) tidak, padahal daerah steril," ujarnya.
Wilayah Perbatasan Sulit Ditembus
Raja Amfoang membeberkan pula, perjalanan menuju Kecamatan Amfoang Timur yang berbatasan dengan Distrik Oecusse, Timor Leste, sulit ditempuh. Selain menempuh perjalanan darat dengan mobil selama tujuh jam, akses menuju ke sana harus melalui medan berat.
"Musim hujan, jalan dipenuhi banyak lumpur. Sedangkan saat musim kemarau, jalan berdebu. Termasuk, melalui 169 lintasan sungai, sehingga hanya jenis mobil penjelajah yang bisa menembusnya," tutur pria berusia 58 tahun kelahiran Kupang tersebut.
"Musim hujan, jalan dipenuhi banyak lumpur. Sedangkan saat musim kemarau, jalan berdebu. Termasuk, melalui 169 lintasan sungai, sehingga hanya jenis mobil penjelajah yang bisa menembusnya," tutur pria berusia 58 tahun kelahiran Kupang tersebut.
Kendati demikian, menurut Robby Manoh yang merupakan sarjana ekonomi tersebut, wilayah Amfoang yang mencakup enam kecamatan di Kabupaten Kupang memiliki banyak potensi kekayaan alam. Misalnya, marmer, gipsum, emas, dan jenis hasil pertambangan lainnya. Selain itu, pertanian dan perikanan. Amfonang juga terkenal dengan hasil madunya.
Termasuk, Observatorium Nasional Timau yang akan mulai dibangun di kawasan hutan lindung lereng Gunung Timau, Kecamatan Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, NTT. Sementara di sektor pemberdayaan kebudayaan setempat, menurut Robby Manoh, sejauh ini belum ada semacam pagelaran budaya untuk menunjang pariwisata setempat.
Adapun pada akhir tahun 2016, mengemuka usulan kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terhadap pembentukan Amfoang sebagai kabupaten baru atau pemekaran dari Kabupaten Kupang. Sejauh ini, menurut Robby Manoh, DPRD provinsi/kabupaten termasuk gubernur dan bupati setempat sudah memberikan "lampu hijau".
Adapun pada akhir tahun 2016, mengemuka usulan kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terhadap pembentukan Amfoang sebagai kabupaten baru atau pemekaran dari Kabupaten Kupang. Sejauh ini, menurut Robby Manoh, DPRD provinsi/kabupaten termasuk gubernur dan bupati setempat sudah memberikan "lampu hijau".
Kesepakatan Para Raja
Penyelesaian sengketa batas wilayah Indonesia dan Timor Leste di perbatasan Naktuka (Noel Besi-Citrana) sangat dinanti masyarakat adat kedua negara.
Berdasarkan data pada 2010, wilayah perbatasan Naktuka diduduki sekitar 44 kepala keluarga asal Oecusse, Timor Leste. Naktuka berada di wilayah Noel Besi-Citrana, terletak di antara Kabupaten Kupang (NTT) dengan Distrik Oecusse, Timor Leste.
Pada April 2017 lalu, pemerintah RI dan Timor Leste kembali berunding soal wilayah perbatasan dua negara tersebut. Selama 10 tahun terakhir, sengketa perbatasan darat dan laut dua negara tak kunjung tuntas. Lahan dekat Kabupaten Kupang dan Distrik Oecuse itu sering menjadi sumber konflik sesama petani.
Perundingan pada tingkat pusat yang dilakukan kedua negara selalu menemui jalan buntu dengan menggunakan dasar ketentuan yang saling berlawanan dalam mengartikan isi pemahaman kesepakatan perjanjian negara penjajah karena tidak sesuai dengan kondisi masa lalu dan juga saat ini.
Namun, impian masyarakat kedua negara untuk hidup damai akhirnya terwujud. Pasukan TNI yang berada di wilayah perbatasan itu turut membantu memfasilitasi pertemuan tokoh adat dari kedua negara. Konflik perebutan lahan seluas 1.069 hektare dapat diselesaikan dengan baik.
Pertemuan antara para tokoh adat RI dan RDTL dengan tema "Nekaf Mese Ansaof Mese, Atoni Pah Meto" yakni "Satu Hati Satu Jiwa, Sebagai Orang Dawan" dilaksanakan di halaman SD Katolik Bokos Desa Netemnanu Utara, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, pertengahan November 2017.
"Kesepakatan para raja menjadi acuan penyelesaian sengketa perbatasan RI-RDTL di kawasan Naktuka," ujar Kapenrem 161 Wira Sakti Kupang, Mayor Armed ida Bagus Diana Sukertia, dikutip Liputan6.com, Selasa, 12 Desember 2017.
Korem 161/Wira Sakti memberikan masukan agar tokoh adat dan tokoh masyarakat dilibatkan dalam memberikan opsi penyelesaian dengan mempertemukan Raja dan Fettor sebagai tokoh adat kerajaan dan tokoh masyarakat kedua negara.
"Opsi ini merupakan hasil pemikiran rakyat kedua negara dengan cara bottom-up untuk mempercepat penyelesaian batas negara sehingga di masa yang akan datang anak cucu mereka hidup berdampingan dalam adat dan tidak akan menimbulkan perang saudara," kata Mayor Ida Bagus.
Kegiatan rapat koordinasi para Raja, Fettor sebagai tokoh adat kerajaan dan aparat pemerintah daerah dihadiri juga personel Korem 161/Wira Sakti untuk merumuskan keinginan rakyat adat kerajaan Amfoang sehingga permasalahan sengketa RI-RDTL di wilayah Naktuka dapat diselesaikan.
Menurut Ida Bagus, kebijakan Danrem 161/Wira Sakti, Brigjen TNI Teguh Muji Angkasa, terhadap klaim maksimal atas wilayah sengketa tersebut merupakan implementasi tugas TNI dalam menjaga kedaulatan negara.
"Diharapkan klaim maksimal ini, dapat diwadahi melalui pertemuan antara Tokoh Adat RI dan RDTL," jelas Ida Bagus.
Korem 161/Wira Sakti berperan penting dalam upaya perundingan RI - Timor Leste dengan memfasilitasi hingga pertemuan itu bisa dilaksanakan.
Berdasarkan data pada 2010, wilayah perbatasan Naktuka diduduki sekitar 44 kepala keluarga asal Oecusse, Timor Leste. Naktuka berada di wilayah Noel Besi-Citrana, terletak di antara Kabupaten Kupang (NTT) dengan Distrik Oecusse, Timor Leste.
Pada April 2017 lalu, pemerintah RI dan Timor Leste kembali berunding soal wilayah perbatasan dua negara tersebut. Selama 10 tahun terakhir, sengketa perbatasan darat dan laut dua negara tak kunjung tuntas. Lahan dekat Kabupaten Kupang dan Distrik Oecuse itu sering menjadi sumber konflik sesama petani.
Perundingan pada tingkat pusat yang dilakukan kedua negara selalu menemui jalan buntu dengan menggunakan dasar ketentuan yang saling berlawanan dalam mengartikan isi pemahaman kesepakatan perjanjian negara penjajah karena tidak sesuai dengan kondisi masa lalu dan juga saat ini.
Namun, impian masyarakat kedua negara untuk hidup damai akhirnya terwujud. Pasukan TNI yang berada di wilayah perbatasan itu turut membantu memfasilitasi pertemuan tokoh adat dari kedua negara. Konflik perebutan lahan seluas 1.069 hektare dapat diselesaikan dengan baik.
Pertemuan antara para tokoh adat RI dan RDTL dengan tema "Nekaf Mese Ansaof Mese, Atoni Pah Meto" yakni "Satu Hati Satu Jiwa, Sebagai Orang Dawan" dilaksanakan di halaman SD Katolik Bokos Desa Netemnanu Utara, Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, pertengahan November 2017.
"Kesepakatan para raja menjadi acuan penyelesaian sengketa perbatasan RI-RDTL di kawasan Naktuka," ujar Kapenrem 161 Wira Sakti Kupang, Mayor Armed ida Bagus Diana Sukertia, dikutip Liputan6.com, Selasa, 12 Desember 2017.
Korem 161/Wira Sakti memberikan masukan agar tokoh adat dan tokoh masyarakat dilibatkan dalam memberikan opsi penyelesaian dengan mempertemukan Raja dan Fettor sebagai tokoh adat kerajaan dan tokoh masyarakat kedua negara.
"Opsi ini merupakan hasil pemikiran rakyat kedua negara dengan cara bottom-up untuk mempercepat penyelesaian batas negara sehingga di masa yang akan datang anak cucu mereka hidup berdampingan dalam adat dan tidak akan menimbulkan perang saudara," kata Mayor Ida Bagus.
Kegiatan rapat koordinasi para Raja, Fettor sebagai tokoh adat kerajaan dan aparat pemerintah daerah dihadiri juga personel Korem 161/Wira Sakti untuk merumuskan keinginan rakyat adat kerajaan Amfoang sehingga permasalahan sengketa RI-RDTL di wilayah Naktuka dapat diselesaikan.
Menurut Ida Bagus, kebijakan Danrem 161/Wira Sakti, Brigjen TNI Teguh Muji Angkasa, terhadap klaim maksimal atas wilayah sengketa tersebut merupakan implementasi tugas TNI dalam menjaga kedaulatan negara.
"Diharapkan klaim maksimal ini, dapat diwadahi melalui pertemuan antara Tokoh Adat RI dan RDTL," jelas Ida Bagus.
Korem 161/Wira Sakti berperan penting dalam upaya perundingan RI - Timor Leste dengan memfasilitasi hingga pertemuan itu bisa dilaksanakan.
Butir-Butir Kesepakatan
Pertemuan pada pertengahan November tahun lalu, dihadiri sekitar 350 orang dari perwakilan pemerintah serta tokoh adat kedua negara dengan menghasilkan pernyataan bersama. Kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh keempat raja, yaitu Raja Liurai, Raja Sonbait, Raja Amfoang dari Indonesia dan Raja Ambenu dari Timor Leste.
Isi kesepakatannya antara lain:
- Memperkokoh tali persaudaraan dalam rangka melestarikan nilai-nilai adat istiadat yang telah ditanamkan oleh para leluhur dalam filosofi Nekaf Mese Ansaof Mese Atoni Pah Meto.
- Mendukung tegaknya perdamaian di tapal batas sebagaimana telah ditetapkan dalam sumpah adat oleh para leluhur dan diharapkan kedua negara.
- Menjalin kerja sama dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat masyarakat di bidang sosial, budaya, dan ekonomi.
- Mengakui dan memperteguh batas-batas adat antar Kerajaan Liurai Sila, Sonbai Sila, Beun Sila, dan Afo Sila sesuai dengan sumpah mereka.
- Garis batas antarnegara tidak menjadi titik sengketa sebagaimana terjadi selama ini, melainkan menjadi titik sosial dan titik persaudaraan.
- Hasil pertemuan perlu disosialisasikan kepada seluruh masyarakat kedua negara.
- Mendorong pemerintah kedua negara agar memfasilitasi pertemuan serupa pada tahun 2018 di Ambenu, hal-hal teknis terkait kehadiran peserta agar tidak dipersulit.
- Mendorong dan mendesak pemerintah kedua negara agar segera menyelesaikan titik-titik batas yang belum diselesaikan.
Delapan poin pernyataan bersama hasil pertemuan tokoh adat RI-RDTL, telah disetujui oleh keempat raja yang disaksikan oleh tokoh adat dan tokoh masyarakat kedua negara.
"Poin penting dalam kesepakatan ini adalah ungkapan pihak Kerajaan Ambenu dari RDTL mengakui dan memperteguh batas-batas adat antara Kerajaan Liurai Sila, Sonbai Sila, Beun Sila dan Afo Sila dengan sumpah mereka," Ida Bagus menambahkan.
Kesepakatan ini akan menjadi acuan dalam perundingan diplomasi antara Pemerintah RI yang diwakili oleh Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, dan Kemenko Polhukam dengan Pemerintah RDTL. Dengan demikian, masalah batas wilayah antara kedua negara ini dapat diselesaikan secara tuntas dan tidak terjadi permasalahan pada masa yang akan datang.